“Kepada Ibu Puan Maharani di Jakarta.
Dengan hormat,
Melalui surat ini, saya atas nama Muniroh, mulai bekerja sebagai PRT sejak Agustus 1986, waktu itu umur saya baru 13 tahun. Sampai saat ini saya sudah bekerja 37 tahun sebagai PRT…”
Inilah petikan surat Muniroh, yang sudah bekerja sebagai pekerja rumah tangga (PRT) selama 37 tahun sejak ia baru selesai sekolah dasar pada usia 13 tahun. Dalam surat yang dibacakannya di depan Gedung DPR Jakarta, sebelum dimasukkannya ke dalam amplop dan dititipkan kepada petugas untuk diserahkan kepada Ketua DPR Puan Maharani, Muniroh menyampaikan berbagai kekerasan dan pelecehan seksual yang sempat dialaminya.
Itulah sebabnya begitu mendengar kabar tentang keberadaan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, yang akan mengatur hak dan kewajibannya – termasuk hak untuk mendapat perlindungan hukum, waktu istirahat dan gaji yang lebih layak – Muniroh ikut berjuang untuk menggolkannya.
Hampir setiap Rabu, Muniroh ikut berbagai aksi di depan gedung DPR, di depan Istana, istigosah virtual beramai-ramai, puasa dan lainnya. Mengirim surat adalah salah satu alternatif yang ditempuh Muniroh dan ratusan PRT lain untuk mengetuk hati Puan Maharani agar menyetujui dan mendorong pengesahan RUU PPRT ini.
Ria Restiana, seorang pekerja rumah tangga berusia 33 tahun, yang sudah malang melintang bekerja di rumah hingga di perkantoran sejak masih berusia 15 tahun, menceritakan dalam suratnya bagaimana ia sebagai anak pertama dari empat bersaudara terpaksa mengadu nasib ke Jakarta.
“Saya hanya digaji Rp200 ribu, mengurus tiga anak, kerja 24 jam. Saya keluar sebelum tiga bulan bekerja karena gaji tidak dibayarkan. Saya tidak bisa berbuat apa-apa,” tulisnya.
Lain lagi dengan Sargini, pekerja rumah tangga di Yogyakarta. “Yang terhormat dan terkasih Ibu Puan Maharani, pemimpin negeri yang tercinta…” demikian ia memulai suratnya, dilanjutkan dengan “tidakkah kau ketahui, kami tidak berpunya dan tidak berdaya. Dalam bekerja tidak lepas dari caci maki, tuduhan, pukulan, siksaan yang menyebabkan hilangnya fungsi anggota badan, bahkan ada yang nyawanya melayang. Mungkin pula engkau tidak percaya banyak perlakuan keji, tidak manusiawi oleh pemberi kerja terhadap diri kami, yang selalu mengalah atas perlakuan ini. Meskipun seluruh tenaga dan kasih sayang telah terkuras untuk mereka – pemberi kerja.”
Sebagaimana rekan-rekannya dari berbagai pelosok Indonesia, Sargini menegaskan bahwa yang “menjadi angan dan mimpi tidaklah banyak.” Yaitu “andaikan bisa bekerja dalam situasi aman, nyaman, ada kebahagiaan karena kami bekerja ada yang melindungi.”
Hampir 20 Tahun Mandek di DPR
RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT), yang diajukan pada tahun 2004 ke DPR, dinilai penting karena menarget hampir empat juta pekerja rumah tangga, yang 12 persen di antaranya berumur di bawah 18 tahun. Data BPS tahun 2008 menunjukkan 90 persen pekerja ini adalah perempuan.
Berbeda dengan profesi lainnya, pekerja rumah tangga memiliki karakteristik yang unik dan spesifik, terkait waktu dan tempat kerja, serta hubungannya dengan pemberi kerja. Perkembangan waktu dan dinamika dalam masyarakat tidak lagi memandang PRT sebagai pelayan atau helper, tetapi sebagai pekerja atau worker yang sedianya memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan profesi lain, terutama untuk mendapat perlindungan negara berdasarkan penghormatan dan penegakan hak asasinya.
Salah satu isu penting yang dimasukkan dalam RUU ini adalah pemenuhan hak sebagai pekerja dan kepastian hukum yang mengatur hubungan antara pekerja rumah tangga, pemberi kerja, pemerintah dan pihak lain yang terkait.
Dalam beberapa wawancara dengan VOA, Wakil Ketua Badan Legislasi DPR, yang juga Ketua Panita Kerja RUU PPRT, Willy Aditya, berulangkali menegaskan bahwa pembahasan RUU ini di tingkat Badan Legislasi (Baleg) sudah selesai sejak 1 Juli 2020.
“Tujuh fraksi mendukung dan dua fraksi menolak, tetapi RUU itu telah disampaikan kepada pimpinan DPR untuk ditindaklanjuti dalam rapat paripurna guna disetujui sebagai RUU usul inisiatif DPR,” ujarnya.
Dua fraksi yang disebut-sebut menolak RUU PPRT ini adalah fraksi Partai Golkar dan fraksi Partai PDI-Perjuangan.
Jokowi Dorong Pengesahan RUU PPRT, Puan Enggan
Tak hanya Baleg DPR, Presiden Joko Widodo pada akhir Januari lalu juga mendorong penetapan segera RUU PPRT. “Saya perintahkan kepada Menkum HAM dan Menteri Ketenagakerjaan untuk segera melakukan koordinasi dan konsultasi dengan DPR dan semua stakeholder. Saya berharap RUU PPRT bisa segera ditetapkan dan memberi perlindungan yang lebih baik bagi pekerja rumah tangga, pemberi kerja dan penyalur kerja,” ujar Presiden Jokowi dalam telekonferensi pers di Jakarta pada 18 Januari lalu.
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah berulangkali mengatakan bahwa RUU PPRT ini diperlukan karena “saat ini payung hukum terkait pekerja rumah tangga baru berbentuk Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No 2 Tahun 2015. Kami memandang diperlukan peraturan yang lebih tinggi di atas peraturan menteri itu.”
Namun, Ketua DPR Puan Maharani berbeda sikap dengan Presiden Joko Widodo terkait RUU PPRT ini. Sehari setelah pernyataan Presiden itu, Puan mengisyaratkan keengganannya untuk “terburu-buru” mengesahkan RUU itu.
“Sejak awal periode DPR sekarang ini, kami mengedepankan untuk bisa melaksanakan pembahasan undang-undang itu secara berkualitas, tidak terburu-buru… Lebih baik berkualitas daripada kuantitas, dan itu tentu saja dengan membuka ruang seluas-luasnya untuk bisa menerima masukan dari publik dan elemen bangsa lebih dulu,” ujarnya kepada wartawan di Gedung DPR Jakarta pada 19 Januari lalu.
Willy Aditya: “Ada Something Wrong”
Willy Aditya membantah jika dinilai “terburu-buru” karena, ujarnya, pembahasan RUU PPRT yang diusulkan sejak tahun 2004 ini sudah selesai dibahas di Baleg DPR pada 1 Juli 2020.
“Ini bukan buru-buru. Ini sangat, bukan lelet ya, tapi dari bulan Juli 2020 sudah diputuskan Baleg. Artinya khan ada something wrong,” ujar Willy.
Eva Sundari: “Kita Sudah by All Means”
Ketua Institut Sarinah, yang juga mantan anggota DPR dari fraksi PDI-Perjuangan Eva Sundari mengatakan sudah melakukan berbagai cara untuk mendorong pengesahan RUU PPRT ini, “kita sudah by all by means of yaa.. dengan segala cara.”
Ia menyebut berbagai upaya yang dilakukan beragam kalangan, mulai dari berunjukrasa, doa bersama teman-teman Katholik, istighotsah bersama teman-teman KUPI (Konferensi Ulama Perempuan Indonesia.red), beramai-ramai berpuasa dan berdoa, berdemonstrasi dengan membawa alat masak dan serbet, hingga mengirim surat.
“Cara spiritual sudah, relijius sudah, material sudah. Dan teman-teman PRT itu mempertaruhkan diri juga untuk minta izin supaya ikut demo, atau datang ke DPR lho! Majikannya kan jadi bertanya masa terus-terusan minta izin. Semua pihak sudah memberikan maksimal yang mereka bisa untuk meyakinkan Mbak Puan. Semua lini! Mulai dari pemerintah, presiden dan menteri-menteri, aktivis-aktivis, PRT sendiri hingga korban,” ujar Eva.
Politisi senior ini berharap dengan surat-surat yang dikirim dari berbagai pelosok Indonesia ini maka “Mbak Puan terbuka hatinya dan segera menjadwalkan breeze yang ada untuk dibahas di sidang paripurna.”
VOA telah berupaya keras mewawancarai Puan Maharani, baik di Jakarta maupun di New York ketika ia menghadiri Pertemuan Antarparlemen dan IPU di markas PBB pada pertengahan Februari lalu. Namun, hingga laporan ini disampaikan upaya itu belum membuahkan hasil.
“Adakah jawaban darimu, wahai pemimpinku?” Apa salah dan dosa kami padamu? Kami tahu kau orang baik, maka jangan kau nodai kebaikanmu dengan membiarkan kami hidup dan bekerja dengan derita,” tanya Sargini, pekerja rumah tangga asal Yogyakarta, dalam suratnya kepada Puan Maharani, sosok penting yang menentukan kelanjutan nasib RUU PPRT ini. [em/ah]